Keraton Mataram-Islam di Pleret, Dalam Kronologi Sejarah

Keraton Mataram-Islam di Pleret, Dalam Kronologi Sejarah

Terletak di hampir 10 Km kearah tenggara dari pusat kota jogja, sisa-sisa kemegahan Kraton Pleret hampir tidak bisa kita lihat saat ini. sejarah Islam Jawa bagian selatan ini dimulai ketika pasca runtuhnya Demak dan munculnya Pajang pada pertengahan paruh kedua abad XVI M. Sumber-sumber sejarah tradisional Jawa menceritakan bahwa munculnya Pajang sebagai kekuatan baru di tanah Jawa tidak lepas dari peran Kyai Ageng Pêmanahan dan putranya yang bernama Sutowijoyo. Berkat keberhasilannya menyingkirkan Arya Pênangsang dalam perang perebutan tahta atas Demak, Kyai Ageng Pêmanahan mendapat hadiah tanah di Mataram dari Sultan Pajang. Di tempat inilah Kyai Ageng Pemanahan dan pengikutnya kemudian membuka hutan untuk dijadikan permukiman (Adrisijanti, 2000: 40).

Permukiman di tengah Alas (hutan) Mentaok yang pada awalnya hanya sebuah kadipaten tersebut dalam perkembangannya menjadi ramai dan kemudian lebih dikenal dengan nama Kota Gede. Kota Gede diperkirakan didirikan antara tahun 1577 M hingga 1578 M (Graaf, 1985: 53). Serat Kandha (Serat Kandha, 518) menyebutkan angka tahun 1513 Ç = 1591 M untuk tahun pembangunan dalem (istana) dan kotanya (benteng) (Serat Kandha, 518 ; dalam Adrisijanti, 2000: 40).
Politik ekspansi yang dijalankan Mataram-Islam sejak era pemerintahan Sutowijoyo yang kemudian bergelar Panêmbahan Senopati (1584-1601 M) mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613 – 1646 M). Kerajaan yang baru berumur setengah abad dan pada awalnya hanya sebuah kerajaan vassal (bawahan) dari Kasultanan Pajang tersebut telah menjelma menjadi kekuatan baru yang berhasil menaklukan hampir seluruh Pulau Jawa. Semakin besarnya kekuasaan yang diraih oleh Mataram-Islam tentu berimbas juga pada semakin berkembangnnya Kota Gede sebagai kota pusat kerajaan tersebut sejak pertama kali didirikan.
Semakin berkembangnya Kota Gede memunculkan berbagai aktivitas yang berada dalam satu lokasi kota benteng yang relatif tidak luas tersebut, sehingga akan menimbulkan masalah bagi kenyamanan dan keamanan (Sarjiyanto, 1995: 96-97). Munculnya Keraton Kerta pada era Sultan Agung diperkirakan juga terkait dengan semakin ramainya Kota Gede akibat menumpuknya orang-orang buangan dari Pajang dan tempat lain di Mataram (Graaf, 1986: 49). Setiap penakhlukan sebuah kota, Sultan Agung selalu memerintahkan untuk memindahkan sebagian penduduknya ke Mataram (Drajat, 2008: 61).
Adanya upaya untuk keluar dari Kota Gede mulai nampak pada era Sultan Agung yang terlihat dengan pembangunan keraton baru di Kerta tahun 1618, namun tidak dibarengi dengan tindakan untuk memindahkan kota kerajaan karena Kota Gede diperkirakan masih tetap hidup dengan aktiftas kotanya meskipun keraton telah dipindahkan ke Kerta seperti yang dicatat oleh de Haen dalam kunjungannya ke Mataram pada tahun 1623. Pada dasarnya konsepsi tentang keraton di Jawa adalah adanya komposisi alun-alun, keraton, pasar, dan adanya masjid agung di sebelah barat alun-alun utara keraton (Moedjiono, 1987: 80).
Pengertian kota pada jaman kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia disamping sebagai pusat pemerintahan yang diwakili dengan kompleks keraton, juga merupakan pusat aktifitas sosial penduduk kerajaan tersebut yang ditandai dengan toponim permukiman penduduk yang kompleks di sekitar keraton serta adanya fasilitas-fasilitas umum seperti masjid agung sebagai pusat sosial keagamaan dan pasar induk sebagai pusat sosial ekonomi. Di Kerta diperkirakan hanya terdapat keraton, alun-alun, dan masjid agung. Sedangkan di Pleret disamping terdapat keraton, alun-alun, dan masjid agung, juga terdapat pasar sebagai pusat kegiatan perekonomian kerajaan serta toponim-toponim yang diduga menggambarkan pengelompokkan hunian penduduk di sekitar keraton (Adrisijanti, 2000: 66 ; 79).
Pada tahun 1646 Amangkurat I naik tahta menggantikan Sultan Agung (dalam Serat Babad Momana menyebutkan angka tahun 1568 Jawa). Berdasarkan Serat Babad Momana, gelar yang digunakan saat naik tahta adalah Sunan Mangkurat Hanyakrakusuma Senapati ing Ngalaga Panatagama. Pada masa pemerintahan Amangkurat I, keraton kembali dipindahkan dari Kerta ke Pleret. Selain itu pada masa pemerintahan raja keempat Kerajaan Mataram-Islam inilah untuk pertama kalinya kota pusat Kerajaan Mataram-Islam dipindahkan, yakni dari Kota Gede ke Pleret. Babad Sengkala mencatat perpindahan Amangkurat I ke Keraton Pleret pada tahun 1569 Jawa atau 1647 Masehi (Ricklefs, 1978; dalam Adrisijanti, 2000:62).
Sebagai salah kota pusat pemerintahan Kerajaan Mataram-Islam, Pleret mempunyai komponen-komponen kota yang cukup lengkap jika dibandingkan dengan Kerta dan Kota Gede. Berdasarkan sumber data historis, beberapa komponen bangunan yang terdapat di Pleret antara lain:
1.       Tembok keliling atau benteng.
Keraton Pleret diyakini memiliki benteng yang mengelilinginya. Berbeda dengan Kota Gede yang terdapat dua lapis benteng dan jagang yakni baluwarti (benteng kota) dan cepuri (benteng/tembok keraton), Pleret hanya memiliki satu lapis benteng yang melingkupi keraton saja sehingga fungsinya diyakini sebagai cepuri. Berdasar penggambaran van Goens, benteng dibangun mengelilingi keraton dengan dua pintu gerbang (Graaf, 1987:11). Rouffaer mencatat bahwa tinggi benteng adalah 5 hingga 6 m dan tebal 1,5 m (Graaf, 1987:12). Menurut sumber lain tahun 1659 (Daghregister, 13 November 1659), tinggi benteng keraton adalah 5 depa dan tebalnya 2 depa (Graaf, 1987:12). Bentuk benteng tersebut belum memuaskan keinginan Sunan, yang masih berkeinginan agar “ditambahkan lagi tembok (benteng) yang serupa dengan suatu perisai di atasnya setinggi dada” (Graaf, 1987:12-13). Keterangan lain yang diperoleh dari Rouffaer adalah benteng dibangun dengan bahan bata, pada beberapa bagian disisipkan batu alam, dan berpuncak putih (Graaf, 1987:12).  Disebutkan oleh van Goens bahwa tembok keliling keraton berbentuk belah ketupat dan luasnya (kelilingnya) adalah 600 Moede (2.256 m) (Graaf, 1987:11).
2.       Keraton, alun-alun, dan masjid agung.
Diperoleh keterangan berdasar kunjungan Abraham Verspreet pada tanggal 16 Oktober 1668 ke istana, ia melewati jembatan di atas parit yang mengelilingi istana dan setelah itu barulah ia tiba di alun-alun (Graaf, 1987:15). Tampaknya keraton dibangun menyerupai sebuah pulau yang dikelilingi air. Terdapat dua buah pintu gerbang sebagai akses keluar masuk keraton seperti yang dicatat oleh Van Goens dalam kunjungannya tahun 1648, pintu gerbang yang paling banyak terpakai terletak di alun-alun utara. Tidak disebutkan adanya alun-alun di selatan keraton (Graaf, 1987: 11).
Sebagai pusat kegiatan sosial keagamaan, Pleret juga dilengkapi dengan sebuah masjid agung yang terletak di sebelah barat alun-alun. Babad Momana dan Babad ing Sengkala mencatat pembangunan masjid agung Pleret pada tahun 1571 J = 1649 M (Graaf, 1987: 12). Lons pada tahun 1733 mencatat bahwa masjid tersebut berukuran besar, berbentuk segi empat, namun sudah rusak, terdapat tiga pintu di sebelah timur, dan mempunyai serambi depan yang besar. Disebutkan pula bahwa masjid tersebut dikelilingi tembok tebal dan tinggi (Leemans, 1855: 8 ; dalam Adrisijanti, 2000: 67).
3.       Bangunan-bangunan air.
Daghregister 12 September 1661 memuat peristiwa pengerahan 300.000 penduduk untuk menjadikan tempat tinggalnya (seperti) sebuah pulau (Graaf, 1987: 14). Pada masa pemerintahan Sultan Agung, pembangunan bendungan Pleret telah dimulai dan berlanjut hingga masa pemerintahan Amangkurat I (Graaf, 1987:15). Tahun 1663 Amangkurat I menyuruh membuat kolam besar di belakang istananya (Darghregister, 5 September 1663; dalam Adrisijanti, 2000: 74). Bendungan dan danau berfungsi sebagai sarana hiburan bagi Sunan dan perlindungan keraton dari ancaman banjir (Graaf, 1987:15). Bendungan tersebut kemudian dikenal dengan nama Segoroyoso dan kemungkinan besar merupakan sumber air bagi parit atau kanal-kanal yang terdapat di dalam keraton.
Beberapa komponen di dalam keraton adalah sebagai berikut sitinggil, bangsal witana, mandungan, sri menganti, pecaosan, sumur gumuling, masjid panepen, prabayeksa, bangsal kencana, bangsal kemuning, bangsal manis, gedong kuning, dan tempat tinggal abdi dalem kedhondhong (Adrisijanti, 2000:76).
Pembangunan komponen-komponen Keraton Pleret dilakukan secara bertahap. Hal tersebut dapat diketahui dari Serat Babad Momana yang menyebutkan tahun pendirian beberapa bangunan, meliputi kadipaten (1569 J), masjid agung (1571 J), prabayeksa (1572 J), segarayasa (1574 J). Keterangan lain yang dapat diperoleh adalah pembangunan sitinggil bagian bawah dengan batu (1572 J), pembangunan witana atau anjungan di sitinggil (1574 J), permulaan pembangunan karadenan atau kediaman putra mahkota (1576 J), dan pembangunan bangsal di srimenganti (1585 J) (Graaf, 1987:13).
Menurut Serat Babad Momana, Keraton Pleret atau Ngeksiganda hancur pada tahun 1600 J, yang disebabkan oleh perang Trunajaya. Perang ini menyebabkan jatuhnya Keraton Pleret ke tangan pemberontak sehingga Susuhunan Amangkurat I terpaksa melarikan diri, dan kemudian meninggal di Tegalwangi atau Tegalarum. Maka, Susuhunan Amangkurat I dikenal pula dengan sebutan Susuhunan Tegalwangi. Meskipun pada akhirnya dengan bantuan VOC Keraton Pleret dapat direbut kembali oleh Amangkurat II serta Trunojoyo berhasil ditangkap, namun dalam kepercayaan Jawa keraton yang telah diduduki musuh tidak baik lagi untuk ditinggali sehingga pasca peristiwa tersebut Pleret tidak lagi menjadi pusat Kerajaan Mataram-Islam. Keraton Kerajaan Mataram-Islam kemudian dipindahkan ke Kartasura oleh Amangkurat II. Babad Tanah Jawi menyebut awal ditinggalinya Keraton Kartasura terjadi pada hari Rabu-Pon, tanggal 27 bulan Ruwah di tahun Alip 1603 Jawa (1680 M) (Olthof, 1941: 199). Maka sejak saat itu berakhirlah era Pleret sebagai kota pusat Kerajaan Mataram-Islam.
Meskipun telah ditinggalkan oleh Amangkurat II dengan membangun keraton baru di Kartasura, hingga akhir tahun 1680 Pleret masih digunakan sebagai keraton oleh Pangeran Puger yang tidak mau mengakui kekuasaan Susuhunan Amangkurat II sebagai raja. Pangeran Puger dan Susuhunan Amangkurat II (pangeran Adipati Anom) adalah putera Susuhunan Amangkurat I. Dengan bantuan VOC pasukan Susuhunan Amangkurat II menyerang Pleret dan Pangeran Puger meloloskan diri ke barat, kemudian ia melancarkan serangan balasan ke Kartasura tetapi dapat dipukul mundur oleh VOC dan akhirnya mengakui kedaulatan Susuhunan Amangkurat II dan tinggal di Kartasura (Ricklefs, 1993:117 ;dalam Adrisijanti, 2000: 83).

PUSTAKA
Adrisijanti, Inajati. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Jendela. Yogyakarta.
Graaf, H.J. de. 1987. Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Grafitipers. Jakarta.
Sarjiyanto. 1995. Sistem Perekonomian Kerajaan Mataram-Islam, Kajian Lokasi Struktur, Dan Proses. Skripsi Sarjana Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Olthof, W. L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi Ing Tahun 1647.

0 Response to "Keraton Mataram-Islam di Pleret, Dalam Kronologi Sejarah"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme